PENGARUH PENAMBAHAN ENZIM VISCERAL TERHADAP PEMATANGAN PEDA IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp)

PENGARUH PENAMBAHAN ENZIM VISCERAL TERHADAP PEMATANGAN PEDA IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp)air jordan Poland

 Bustari Hasan, Dian Iriani, Asmoro Densi A.S

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Riau, Pekanbaru

 ABSTRACT

            This research was intended to evaluate the effect of visceral enzym, and product type (whole, gutting and fillet) on ripening process of salt-fermented (peda) mackerel. Fish samples weighing 250-350 gram each were taken from local landing center in West Sumatra. The fresh fish were kept in ice and transported to the Laboratory of Fish Processing Technology, Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau, Pekanbaru. At the laboratory, the fish were grouped into two groups, enzym and non http://www.cialisgeneriquefr24.com/ enzym. The fish were salted in plastic bucket with salt concentration of 20% for 1 day. After salting, the fish were cleaned from salt crystal residue and fermented at room temperatur for IV weeks. Changes during ripining were evaluated for sensory and chemical indice (NPN, and FFA). The rate of ripining was determined based on sensory testing. The results showed that the sensory and chemical charecteristics of salt-fermented fish developed during ripining time. Visceral enzym and product type were affect to the ripining rate. The visceral enzym and product type were influence the majority of chemical charecteristics of salt-fermented fish.air max 93

Key Words: Salt-fermented fish, ripening, enzym, fermentation, sensory analysis, Nonprotein nitrogen, free fatty acid

 1 Lecturer of Fisheries and Marine Sciences Faculty

PENDAHULUAN

Perikanan masih merupakan sektor yang terpenting baik dalam pemenuhan kebutuhan sumber protein hewani maupun pendapatan dan devisa negara. Sebagai sumber protein hewani, lebih dari 60% penduduk Indonesia mengkonsumsi ikan dengan tingkat konsumsi ikan perkapita per tahun mencapai 25 kg pada tahun 2006 (DKP, 2008a). Perkembangan industri perikanan di Indonesia mengalami peningkatan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan data tahun 2004, hasil perikanan tangkap secara nasional sebesar 4.320.241 ton dengan indeks kenaikan rata-rata cigarettes shops per tahun sebesar 3,48%. Dari total ini, sebesar 1.117.965 ton atau 25,87% digunakan untuk keperluan industri pengolahan ikan secara tradisional (DKP, 2006) seperti ikan asin, pindang dan fermentasi.

Ikan Kembung (Rastrelliger sp) merupakan salah satu ikan ekonomis penting dan tersebar luas diseluruh wilayah perairan Indonesia. Jumlah produksi Ikan Kembung (Rastrelliger sp) di Provinsi Riau setiap tahunnya mengalami peningkatan yaitu pada tahun 1997 total produksi ikan kembung mencapai 4.020,9 ton dan tahun 1999 menjadi 4.292,5 ton dan pada tahun 2005 sebesar 5294, 3 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, 2006).

Salah satu produk fermentasi ikan yang sudah dikenal sejak waktu yang sangat lama di Indonesia adalah peda, yaitu produk fermentasi bergaram yang dibuat dari ikan laut jenis ikan kembung (Rastrellinger sp), lemuru (Sardinella sp), layang (Decapterus sp) atau selar (Caranx sp) dan peda yang dibuat dari jenis ikan yang berlemak tinggi seperti kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) menghasilkan peda yang paling disukai (Van Veen, 1965 dan Hanafiah, 1987). Konsumsi peda pada saat ini tidak hanya sebagai lauk-pauk yang dimakan bersama nasi, akan tetapi lebih banyak sebagai penyedap makanan karena rasa dan baunya yang spesifik, aman dan bergizi. Untuk meningkatkan produksi dan konsumsi peda, pengembangan teknologi pengolahan sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Peda memiliki popularitas tersendiri di pasaran. Flavor dan tekstur yang terbentuk selama periode waktu tertentu setelah pengolahan berbeda bila dibandingkan dengan produk-produk ikan fermentasi lainnya.

            Sejalan dengan perkembangan alternatif pengawetan pangan maka pengembangan produk pangan fermentasi saat ini lebih karena tekstur, aroma dan rasa peda yang unik. Dampak positif dari produk fermentasi terhadap kesehatan konsumen juga menjadi alasan pengembangan produk fermentasi sekarang ini. Pemecahan komponen yang kompleks menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana menyebabkan produk fermentasi lebih mudah dicerna daripada produk pangan asalnya. Pada beberapa produk fermentasi, dilaporkan pula adanya peningkatan kandungan beberapa vitamin, antioksidan dan senyawa lain yang bermanfaat bagi kesehatan.USA Oakley sunglasses

            Produk fermentasi biasanya mengandung nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Selain itu fermentasi dapat membantu dalam mengawetkan makanan dan juga memberikan sifat-sifat tertentu yang dapat menjadi daya tarik bagi konsumen, unik serta dapat meningkatkan nilai ekonomi (Hutkins, 2006).

Masalah yang dihadapi dalam pembuatan peda adalah proses pematangan yang memerlukan waktu relatif lama (2-9 minggu) dan mutu produk akhir yang bervariasi (Van veen, 1965; Kamil et al., 1976; Irawadi, 1979; Syachri, 1979; Murdinah et al., 1983; Irawadi dan Syachri, 1984 dan Hernandez-Herrero et al., 2002). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempercepat pematangan peda dan memperbaiki mutu produk akhir yang dihasilkan, seperti pematangan pada kondisi anaerob (Syachri dan Nur, 1977), penambahan starter inokulum dan karbohidrat (Kamil et al., 1976; Irawadi, 1979), seleksi kesegaran bahan baku (Hernandez-Herrero et al., 2002), penyiangan dan manipulasi suhu fermentasi (Hasan, 2008).

Proses pengolahan peda biasanya dilakukan melalui dua tahap, yaitu penggaraman (20% dari berat ikan) dan pematangan dengan lama masing-masing tahap bervariasi 3-5 hari untuk penggaraman dan 14-60 hari untuk pematangan; (Van Veen, 1965; Kamil et al., 1976; Irawadi, 1979; Murdinah et al., 1983; Irawadi dan Syachri, 1984 dan Hernandez-Herrero et al., 2002). Tahap penggaraman terdiri dari proses penetrasi garam dan pengurangan kadar air; dan tahap pematangan meliputi serentetan proses biokimia yang kompleks seperti proteolisis, lipolisis dan oksidasi lemak yang akan cialis sans ordonnance memberikan tekstur, rasa dan bau produk yang khas (Huss, 1995 dan Voskrezensky, 1995).

Konsentrasi garam yang digunakan dalam fermentasi ikan peda sangat menentukan mutu ikan peda tersebut disamping kesegaran bahan bakunya, karena pemberian garam mempengaruhi jenis mikroba yang berperan dalam fermentasi. Kadar garam yang terlalu tinggi akan menyebabkan rasa ikan terlalu asin dan tidak disukai konsumen dan tidak baik untuk kesehatan. Rasa ikan yang terlalu asin menyebabkan jumlah ikan yang dapat dimakan juga tidak banyak, oleh karena itu, minimasi kadar garam akan meningkatkan jumlah ikan yang dapat dikonsumsi.

Produk peda selama ini disajikan dalam bentuk ikan utuh tanpa dibuang isi perutnya. Kadar garam yang digunakan sangat tinggi 25% – 30% (Syachri, 1979) dari berat ikan. Dalam penelitian ini peda disajikan dalam bentuk ikan tanpa kepala dan isi perut (disiangi), fillet serta ikan utuh dengan kadar garam yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan diversifikasi produk dan sekaligus meningkatkan mutu serta penerimaan konsumen.

METODOLOGI

Pengolahan peda

            Peda dibuat dengan metoda Van Veen (1965). Ikan kembung (Rastrelliqer sp) berukuran 250-350 gram per ekor diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di Sumatera Barat. Ikan setelah ditangkap dies dan diangkut ke Laboratorium Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau Pekanbaru. Di laboratorium, ikan dibagi menjadi 3 perlakuan, yaitu utuh, disiangi, dan fillet. Selanjutnya setiap produk dibagi 2 kelompok yaitu di dilumuri enzim dan tanpa dilumuri enzim. Selanjutnya digarami secara berlapis di dalam wadah plastik dengan konsentrasi garam 20% dari berat ikan selama 1 hari pada suhu kamar. Setelah penggaraman selesai, ikan dibersihkan dari sisa garam dan disimpan atau dimatangkan masing-masing pada suhu kamar selama 4 minggu. Perubahan mutu sensoris dan kemis diamati pada setiap 0, I, II, III dan IV minggu pematangan.

Analisis Sensoris

            Tingkat kematangan peda didasarkan pada perkembangan karekteristik mutu sensoris selama proses pematangan yang dievaluasi menggunakan metoda Filsinger et al., (1982) dan Hernandez-Herrero et al., (2002). Lima panelis terlatih yang terdiri dari dosen dan mahasiswa https://melbournerx.com/buy-cialis-melbourne.html semester akhir Jurusan Teknologi Hasil Perairan diminta menilai perkembangan karekteristik mutu peda yang meliputi rasa, warna, bau dan tekstur (konsistensi daging dan daya lengket daging pada tulang belakang); dan penilaiannya didasarkan pada skor menurut diskripsi pada tabel 1 skala kematangan terendah adalah 0, yang menggambarkan karekteristik ikan segar, angka 3 menunjukan tingkat kematangan yang optimum dan 5 sebagai kondisi dimana ikan sudah mengalami pembusukan.

Analisis Kemis

Analisis kemis dilakukan terhadap penguraian protein (nonprotein nitrogen) dan penguraian lemak (asam lemak bebas) selama pematangan.

Analisis nonprotein nitrogen (NPN) dilakukan dalam 50 gram daging ikan yang diekstraksi dengan larutan trichloroacetic acid 10%; dan konsentrasi NPN dideterminasi menggunakan makro-Kjeldahl menurut prosedur AOAC (AOAC, 1990). Asam lemal bebas (FFA) dideterminasi dalam 28.2 gram daging ikan yang ditambahkan 50 ml alkohol netral dan 2 ml indikator phenol phethalein, dan dititrasi dengan larutan 0.1 N NaOH sampai berwarna merah jambu selama 30 detik (Meihen Bachere, 1960). Asam lemak bebas dinyatakan sebagai oleat.ray ban usa

Analisis Data

Data yang diperoleh yang terdiri dari tiga replikasi dianalisis dengan Analisis Variansi (ANOVA) menggunakan Statistical Package for Sosial Science (SPSS for Windos versi 6.1.2. SPSS Inc., 2000). Beda nyata antar perlakuan dideterminasi menggunakan uji Beda Nyata Terkecil.

Tabel 1. Kriteria dan skor penilaian mutu sensoris peda kembung

1. Warna Daging

NILAI

Ikan segar

0

Warna daging mulai merah

1

Warna merah semakin merata

2

Warna merah optimal

3

Warna merah semakin gelap

4

Warna daging hitam

5

II. Bau
Bau Ikan segar

0

Bau larutan garam

1

Bau spesifik peda mulai nyata

2

Bau spesifik peda optimal

3

Bau busuk mulai nyata

4

Bau busuk sangat nyata

5

III. Rasa
Rasa ikan segar

0

Rasa ikan asin biasa

1

Rasa spesifik peda mulai nyata

2

Rasa spesifik peda optimal

3

Rasa tengik mulai nyata

4

Rasa tengik sangat nyata

5

IV. Konsistensi dan daya lengket daging ke tulang belakang
Elastisitas dan daya lengket daging ke tulang belakang sangat tinggi

0

Elastisitas dan daya lengket daging ke tulang belakang  berkurang

1

Elastisitas dan daya lengket daging ke tulang belakang semakin menurun

2

Elastisitas dan daya lengket daging ke tulang belakang sangat kecil

3

Daging lembut dan mudah sobek, perut mulai pecah (Belly bursting)

4

Daging sangat lembut dan sangat mudah sobek, perut hancur

5

HASIL

Mutu Sensoris

Nilai rata-rata mutu sensoris peda ikan kembung yang dibuat dengan pemberian enzim dan tanpa pemberian enzim dan bentuk produk yang berbeda disajikan pada tabel 2. Data mutu sensoris peda ikan dipengaruhi oleh perlakuan pemberian enzim dan bentuk produk berbeda selama pematangan (p<0,05). Berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil memperlihatkan bahwa peda yang dibuat dengan penambahan enzim lebih baik dari peda yang dibuat dengan tanpa penambahan enzim (p<0,05); dan peda yang dibuat secara disiangi dengan pemberian enzim lebih baik mutunya dari peda yang dibuat secara utuh dan fillet (p<0,05).

Analisis statistik menunjukkan bahwa mutu sensoris peda ikan secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh interaksi penambahan enzim dan bentuk produk (p<0,05). Uji Newman Keuls menunjukkan penambahan enzim dan bentuk produk disiangi (A2B2) menghasilkan peda yang terbaik secara sensoris, namun tidak berbeda dengan peda yang dibuat dengan penambahan enzim dengan bentuk produk utuh (A2B1). Sedangkan tanpa penambahan enzim dengan bentuk utuh (A1B1) berbeda nyata, begitu juga dengan dengan tanpa penambahan enzim dengan produk disiangi (A1B2), fillet (A1B3) dan dengan pemberian enzim dengan bentuk fillet (A2B3).

Tabel 2.  Skor rata-rata mutu sensoris, NPN, dan FFA Peda Ikan Kembung (Rastrelliger sp) selama Pematangan

Perlakuan

Mutu Sensori                           NPN                                     FFA
Pelumuran

Tanpa Enzim (A1)

1.93a

 

 

           20.19a

 

12.87 a

Enzim (A2)

2.00b

 

 25.55b

 

16.36 b

Bentuk Produk

  Utuh (B1)

2.01 b

 

28.85 c

 

14.22 a

Disiangi (B2)

2.03 b

 

17.24 a

 

14.73 b

Fillet (B3)

1.85 a

 

22.52 b

 

14.89 b

Interaksi Pelumuran dan Bentuk Produk

A1B1

1.97 ab

 

 

28.75 d

 

15.25 cd

A1B2

2.00 b

 

 

13.43 a

 

13.18 b

A1B3

1.92 a

 

18.39 b

 

10.17 a

A2B1

2.05 c

 

28.96 d

 

19.29 e

A2B2

2.06 c

 

21.04 c

 

16.27 d

A2B3

1.89 a

 

26.64 cd

 

13.52 b

Ket : Rata-rata dalam kolom yang sama ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda (p<0,05).

Proses pematangan peda yang diukur berdasarkan perkembangan karekteristik mutu sensoris selama pematangan disajikan pada tabel 3. Secara umum, nilai sensoris ikan peda meningkat selama pematangan (p<0.05). Pengaruh perlakuan pelumuran enzim (pembuangan kepala dan isi perut) terhadap nilai sensoris berbeda nyata sampai pematangan IV minggu (p<0.05). Berdasarkan nilai 3.00 sebagai index kematangan optimal, peda telah menunjukan tingkat kematangan optimal pada pematangan III minggu, dan pada pematangan IV minggu peda yang dibuat acheter viagra dari ikan yang tidak disiangi dengan pemberian enzim telah melampaui tingkat kematangan optimal (p<0,05).

Tabel 3. Rata-rata mutu sensoris peda ikan kembung berdasarkan lama pematangn berbeda

Perlakuan

Lama Fermentasi (Minggu)

Mutu Sensori

0

I

II

III

IV

A1B1

0.90

1.30

2.20

2.45

3.00

A1B2

0.90

1.20

2.25

2.65

3.00

A1B3

1.00

1.53

2.40

3.20

4.00

A2B1

0.95

1.45

2.20

2.75

3.00

A2B2

1.55

2.05

3.55

4.75

5.25

A2B3

0.73

1.27

2.07

2.40

3.00

Rata-rata

1.01a

1.47b

2.44c

3.03d

3.54e

Ket : Rata-rata dalam kolom yang sama ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda (p<0,05).

Mutu Kemis

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi NPN peda yang diberi enzim memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian enzim (p<0,05). Bentuk produk ikan utuh memiliki nilai NPN yang tinggi (28,85%) dibandingkan dengan peda disiangi dan fillet (p<0,05). Konsentrasi NPN selama pematangan dapat dilihat pada tabel 4, dimana nilai NPN meningkat selama pematangan (p<0,05). Pengaruh pemberian enzim terhadap konsentrasi NPN signifikan mulai pada pematangan I minggu hingga sampai pematangan IV minggu (p<0.05) dimana konsentrasinya lebih tinggi (62,15 total nitrogen per gram daging) pada peda yang dibuat dari ikan yang dilumuri enzim dengan bentuk produk utuh (p<0.05). Sedangkan pada IV minggu pematangan terjadi penurunan kandungan NPN (4,25 total nitrogen per gram daging) (p<0,05).

Tabel 4. Kandungan NPN (% Total N) Peda Selama Pematangan

Perlakuan

Lama Fermentasi (Minggu)

NILAI NPN

 

0.00

I

II

III

IV

A1B1

6.54

23.70

46.50

49.30

17.70

A1B2

1.70

13.60

19.60

28.85

3.40

A1B3

1.35

1.50

24.70

38.15

26.25

A2B1

4.70

30.02

43.50

62.15

4.25

A2B2

2.60

3.95

35.50

39.80

23.35

A2B3

0.50

24.45

32.20

47.15

28.90

Rata-rata

2.90 a

16.20b

33.67 d

44.23 e

17.31c

 

Ket : Rata-rata dalam kolom yang sama ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda (p<0,05).

Konsentrasi FFA (Tabel 5) juga meningkat sejak awal sampai akhir pematangan (p<0.05). Selama pematangan, konsentrasi FFA dipengaruhi oleh perlakuan  pemberian enzim dan bentuk produk. Berdasarkan tabel 1, kandungan FFA peda yang diberi enzim lebih tinggi (16,36 gram Oleat/100gram Lemak) dibandingakn dengan peda tanpa pemberian enzim (P<0,05). Sedangkan bentuk produk utuh berbeda nyata dengan bentuk produk disiangi dan fillet.

Tabel 5. Kandungan FFA (gram Oleat/100gram Lemak) Peda Kembung Selama Pematangan

Perlakuan

Lama Fermentasi (Minggu)

Nilai FFA

0

I

II

III

IV

A1B1

8.92

10.13

12.75

18.22

26.25

A1B2

7.87

9.08

10.55

15.65

22.77

A1B3

5.54

7.08

9.03

11.33

17.88

A2B1

9.25

11.95

14.93

26.43

33.88

A2B2

8.22

9.33

11.12

23.44

29.22

A2B3

6.51

8.55

10.14

16.92

25.48

Rata-rata

7.72 a

9.35 b

11.42 c

18.67 d

25.91e

Ket : Rata-rata dalam kolom yang sama ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda (p<0,05).

PEMBAHASAN

            Proses pematangan peda meliputi serentetan proses biokimia yang kompleks yang dapat dikelompokan pada proteolisis, lipolisis dan oksidasi lemak yang akan membentuk tekstur, rasa, dan bau produk yang khas pada peda tersebut (Huss, 1995 dan Voskrezensky, 1995 dalam Hernandez-Herrero et al., (2002). Proses ferementasi dalam pematangan peda melibatkan enzim yang terdapat pada usus dan otot ikan, baik yang berasal dari ikan sendiri maupun dari mikroba (Van Veen, 1965 dan Heu et al., 1991). Oleh karena itu, proses pematangan sangat dipengaruhi oleh aktifitas enzim dan mikroba fermentatif tersebut.

            Pada penelitian ini, proses pematangan ditandai dengan peningkatan nilai sensoris yang berlangsung scara gradual selama pematangan. Berdasarkan nilai 3 sebagai tingkat kematangan optimal, peda telah mencapai tingkat kematangan optimal pada pematangan III minggu. Namun pada pematangan IV minggu peda yang dibuat dari ikan yang tidak disiangi dengan pemberian enzim telah melampaui tingkat kematangan optimal (p<0,05), ini bearti peda telah menunjukan ciri-ciri penurunan mutu

Menurut Hernandez-Herrero et al., (2002) bahwa perkembangan karekteristik peda secara sensoris merupakan akumulasi perubahan fisik dan kimia yang terjadi selama pematangan; dan perubahan tersebut sangat ditentukan oleh konsentrasi enzim dan mikroba fermentatif, terutama yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan. Kenyataan bahwa pembuangan isi perut ikan tidak berpengaruh terhadap kecepatan pematangan peda pada awal pematangan 30 hari menunjukan bahwa proses pematangan peda tidak hanya melibatkan enzim yang berasal dari usus ikan tetapi juga enzim dan mikroba fermentatif yang berasal dari organ lainnya seperti daging, dinding perut dan kulit ikan. Dalam proses penyiangan, bagian yang dibuang hanya organ-organ yang terdapat dalam perut ikan, dan enzim yang berperan dalam proses fermentasi pematangan masih terdapat dalam otot dan dinding perut ikan yang tidak terbuang sewaktu penyiangan Pada  tahap awal pematangan, enzim otot dan dinding perut ikan ini mungkin lebih acheter cialis dominan dalam proses pematangan; dan tahap berikutnya, proses autolisis semakin dipercepat oleh enzim yang terdapat dalam usus ikan, dengan demikian peda yang dibuat dari ikan yang tidak dibuang isi perutnya, pada  akhir pematangan IV minggu.

Beberapa peneliti telah mengisolasi berbagai jenis enzim protease dari jaringan otot ikan (Reddi et al, 1972; Siebert dan Schmitt, 1965). Wojtowicz dan Odense (1972) menemukan enzim cathepsin sebagai protease yang paling dominan dalam jaringan otot ikan. Cathepsin D merupakan yang paling penting karena dapat menginisiasi pemecahan protein sel menjadi peptida, dan pemecahan selanjutnya dilakukan oleh cathepsin lainnya (A, B dan C). Enzim cathepsin juga telah dibuktikan berperanan penting dalam pematangan asinan ikan (Lerke et al., 1967). Selain cathepsin, beberapa enzim peptidase juga ditemui pada jaringan otot ikan (Siebert dan Schmitt, 1965; dan Konagaya, 1978).

Beberapa enzim protease yang terdapat pada saluran pencernaan ikan dilaporkan lebih aktif dalam proses autolisis.  Jenis yang terpenting diantaranya adalah cathepsin D serta enzim seperti pepsin lainnya yang terdapat dalam dinding perut ikan (Granroth et al., 1978) dan endopeptidase yang terdapat dalam pyloric caecae.  Jenis enzim yang terdapat dalam pyloric caecae ini dilaporkan sering menyebabkan belly bursting (Love, 1980 dan (Sheu, 1995). Aktifitas enzim-enzim ini dilaporkan optimal pada suhu 25-40oC (Adam et al., 1987; Karmas dan Lauber 1987).

            Perubahan biokimia selama fermentasi peda dalam penelitian ini ditunjukkan oleh perubahan NPN, dan FFA. Non Protein Nitrogen merupakan nitrogen yang terlarut didalam TCA 10% yang merupakan hasil degradasi protein atau komponen nitrogen lainnya yang terdapat dalam tubuh ikan (Durrand, 1982). Konsentrasi NPN peda dalam penelitian ini meningkat selama pematangan yang menunjukan degradasi protein berlansung intensif selama pematangan. Pengaruh pemberian enzim terhadap konsentrasi NPN signifikan mulai pada pematangan I minggu hingga sampai pematangan IV minggu (p<0.05) dimana konsentrasinya lebih tinggi (62,15 total nitrogen per gram daging) pada peda yang dibuat dari ikan yang dilumuri enzim dengan bentuk produk utuh (p<0.05). Sedangkan pada IV minggu pematangan terjadi penurunan kandungan NPN (4,25 total nitrogen per gram daging) (p<0,05). Pola produksi NPN peda dalam penelitian ini selaras dengan pola perkembangan karekteristik sensoris, yang menunjukan bahwa NPN memiliki kontribusi terhadap perubahan buy overnight viagra karekteristik sensoris selama pematangan. Peranan NPN dalam membentuk kualitas sensoris pada produk fermentasi baik pada produk kecap maupun pada pembuatan fermentasi ikan bergaram (peda) dimana semakin banyak protein terhidrolisis menjadi senyawa yang memiliki berat molekul yang lebih rendah semakin baik kualitas produk.

            Konsentrasi FFA juga meningkat dengan semakin lama proses fermentasi, dimana konsentrasinya mencapai Selama pematangan, konsentrasi FFA dipengaruhi oleh perlakuan  pemberian enzim dan bentuk produk. Kandungan FFA peda yang diberi enzim lebih tinggi (33,38 gram Oleat/100gram Lemak) pada produk utuh dibandingakn dengan peda tanpa pemberian enzim (P<0,05). Sedangkan bentuk produk utuh berbeda nyata dengan bentuk produk disiangi dan fillet. Pembentukan FFA selama pematangan merupakan proses pemecahan lemak yang dinisiasi oleh enzim lipoxygenase dan mikroprotease terutama yang berasal dari perut ikan (Hernandez-Herrero et al., 2002), dengan demikian peda yang dibuat dari ikan yang tidak disiangi atau tidak dibuang isi perutnya akan mengalami hidrolisis lemak yang lebih intensif. Produksi FFA juga dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin tinggi suhu semakin intensif produksi FFA (Huss, 1988). Walaupun produk oksidasi dan hidrolisis lemak biasanya menghasilkan rasa, bau dan rupa yang tidak disukai, senyawa tersebut menyumbang sebagian besar karakeristik produk fermentasi ikan pada umumnya (Wheaton dan Lawson, 1985).air jordan 11 for sale Cheap nike air max baseball oakley sunglasses discontinued ray ban sunglasses

KESIMPULAN

Pematangan peda merupakan proses yang kompleks yang meliputi perubahan sensoris dan kimia. Secara sensoris, pematangan peda memerlukan waktu IV minggu. Data mutu sensoris peda ikan dipengaruhi oleh perlakuan pemberian enzim dan bentuk produk berbeda selama pematangan. Peda yang dibuat dengan penambahan enzim lebih baik dari peda yang dibuat dengan tanpa penambahan enzim. Peda yang dibuat secara disiangi dengan pemberian enzim lebih canada viagra cheap baik mutunya dari peda yang dibuat secara utuh dan fillet.

Peda yang dibuat dari ikan yang tidak disiangi dan dilumuri enzym lebih cepat membusuk dari peda yang dibuat dari ikan yang disiangi buy overnight viagra dan tanpa dilumuri enzym. Oleh karena itu, pembuatan peda dari ikan yang disiangi dan dilumuri enzim lebih disukai karena lebih cepat matangnya. Selama pematangan, perubahan sensoris selaras dengan perubahan kemis.